Anguilla bicolor merupakan salah satu spesies ikan sidat yang hidup di perairan Indonesia (Lestari dkk., 2016). Ikan sidat di Indonesia mempunyai nama daerah yang berbeda-beda antara lain ikan moa, ikan uling, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, ikan lelus, ikan gateng, ikan embu, ikan dundung, ikan laro dan ikan luncah (Sasono, 2001). Tubuh sidat (Gambar 1) berbentuk bulat memanjang, sekilas mirip dengan belut yang biasa dijumpai di areal persawahan. Salah satu karakter/bagian tubuh sidat yang membedakannya dari belut adalah keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga dinamakan pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan (Haryono, 2008).
Ciri ikan sidat (Gambar 1) adalah tubuh memanjang seperti ular, sirip dorsal, sirip kaudal dan sirip anal bergabung menjadi satu, sirip dada ada dan sirip perut tidak ada, tubuh diliputi sisik halus. Ikan sidat memiliki linea lateralis yang terbentuk dengan baik, perut jauh dari kepala, mulut terminal, rahang tidak memanjang secara khusus, gigi kecil, pektinat dan setiform dalam beberapa sisi rahang dan vomer, terdapat gigi halus pada tulang faring, membentuk ovate patch pada faring, bagian atas celah insang lateral vertikal berkembang dengan baik dan terpisah satu sama lainnya. Insang dapat terbuka lebar, terdapat lidah, bibir tebal, tulang frontal, berpasangan tetapi tidak tumbuh bersama. Palatopterygoid berkembang baik, premaksila tidak berkembang sebagai suatu elemen yang dapat dibedakan pada ikan dewasa, lengkung pektoral terdiri dari 7-9 (usia muda mencapai 11) elemen radial, tulang ekor tanpa proses transverse (Tesch, 2003).
Organ pernafasan utama ikan sidat adalah insang yang berfungsi sebagai paru-paru seperti pada hewan darat. Ikan ini memiliki empat pasang insang yang terletak pada rongga branchial. Setiap lembar insang terdiri atas beberapa filamen insang dan setiap filamen insang terbentuk dari sejumlah lamella yang di dalamnya terdapat jaringan pembuluh darah. Kemampuan ikan sidat dalam mengambil oksigen dari udara secara langsung menyebabkan ikan sidat dapat bertahan cukup lama di udara terbuka yang memiliki kelembaban yang tinggi. Keistimewaan lainnya adalah sidat memiliki kemampuan mengabsorbsi oksigen melalui seluruh permukaan tubuhnya. Sisik sidat yang kecil membantu dalam proses pernafasan melalui kulit, berdasarkan hasil penelitian 60% kebutuhan oksigen pada ikan sidat dipenuhi melalui pernafasan kulit. Ikan sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa celah kecil yang terletak di bagian belakang kepala, ini berfungsi dalam mempertahankan kelembaban di dalam rongga branchial (Tesch, 2003).
Ikan sidat memiliki distribusi geografi yang luas meliputi wilayah Indo-Pasifik, Atlantik dan Oseania dan telah ditemukan 18 spesies ikan sidat (Fahmi dan Hirnawati, 2010). Menurut Wahyudhi dkk. (2016),dari 18 spesies di dunia, sebanyak 6 spesies hidup di Indonesia, yaitu A. borneensis, A. cebesensis, A. interioris, A. Obicura, A. bicolor, dan A. marmorata , 2 dari 6 spesies tersebut terdistribusi di indonesia yaitu A. bicolor yang terdapat di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera, serta A. marmorata yang terdapat di wilayah Pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Ikan sidat termasuk dalam ikan diadromus yang masuk dalam kelompok ikan katadromus yaitu pada ukuran anakan sampai dewasa tinggal di perairan tawar namun ketika akan memijah bermigrasi ke laut dalam. Daur hidupnya terbagi menjadi 3 fase, fase di lautan, di estuaria dan di air sungai (Gambar 2) Ikan sidat memijah di lautan pada kedalaman 400-500 meter dan setelah telurnya dikeluarkan telur-telur tersebut akan mengapung karena massa jenis telur tersebut lebih ringan dari massa jenis air di sekitarnya maka telur-telur tersebut naik ke permukaan dan menetas menjadi larva leptocephalus (Sasono, 2001)
Larva leptocephalus berbentuk seperti daun willow dan transparan. Fase ini teradaptasi baik sebagai plankton di laut lepas dan yang memiliki pola migrasi vertikal, yaitu cenderung naik ke permukaan pada malam hari dan siang hari turun ke perairan yang lebih dalam. Selama metamorfosis larva leptocephalus mengalami penurunan ukuran dan berat basah karena matriks gelatin internal terdegradasi dan diganti dengan perkembangan otot dan tulang. Larva leptocephalus akan mengalami perubahan bentuk menjadi eel-like shape dan terjadi perkembangan usus, kulit, insang dan ginjal menjadi lebih kompleks dan sudah mulai terdapat pigmentasi pada bagian ekor dan kepala bagian atas sehingga memasuki fase juvenile yang bermigrasi ke perairan payau (estuari) (Gambar 2)yang disebut dengan fase glass eel (Aoyama, 2009 ; Briand et al.,2005).
Umur fase glass eel yang tertangkap di muara sungai diperkirakan antara 118-262 hari dengan umur rerata 182,8 hari (Rovara dkk., 2007). Panjang tubuh glass eel antara 5 – 6 cm dengan berat sekitar 0,2 gram. Keberadaan fase glass eel sangat tergantung pada musim, yaitu umumnya lebih banyak pada musim penghujan (Nopember – April). Fase glass eel akan bermigrasi masuk ke perairan tawar pada saat salinitas di muara sungai relatif rendah (1-2 ppt). Salinitas rendah seperti ini akan banyak terkondisikan pada musim hujan (Haryono, 2008). Fase glass eel yang bermigrasi ke air tawar (Gambar 2) akan mengalami pigmentasi kulit sehingga bagian dorsal tubuh berwarna coklat gelap dan ventral tubuh berwarna putih serta mengalami penambahan panjang dan berat total tubuh menjadi fase elver eel (Tesch, 2003).
Perkembangan fase elver eel berikutnya adalah fase yellow eel yang mengalami perubahan warna tubuh bagian ventral menjadi kuning dan merupakan predator opportunistik terhadap invertebrata dan ikan kecil sehingga laju pertumbuhan fase yellow eel tergantung dari jumlah dan tipe makanan yang diperoleh (Aoyama, 2009). Fase yellow eel akan berkembang menjadi fase silver eel yang mengalami perubahan warna ventral tubuh menjadi silver keemasan dan mengalami matang gonad dan akan bermigrasi ke laut untuk memijah (Rovara dkk., 2007; Tesch, 2003).
Oleh :
Adhi Prasetyo,S.Si.Guru Biologi
Sumber :
Aoyama, J. 2009. Life History and Evolution of Migration in Catadromous Eels (Genus Anguilla). Aqua-BioSci.Monogr (2): 1
Briand, C., D.Fatin., E. Cicotti., dan P. Lamberts. 2005. A stage-structured model to predict the effect oftemperature and salinity on glass eel Anguilla anguilla pigmentation development. Journal of Fish Biology (67): 993–1009.
Fahmi, M. R dan R. Hirnawati. 2010. Keragaman Ikan Sidat Tropis (Anguilla sp.) di Perairan Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Prosiding Forum Teknologi Akuakultur. Balai Riset Budidaya Ikan Hias.Depok. Hal. 1-8.
Haryono. 2008. Sidat, Belut Bertelinga : Potensi Dan Aspek Budayanya. Jurnal Fauna Indonesia (8):1.
Lestari, N. W., A. Budiharjo, dan A. Pangastuti. 2016. Bakteri Heterotrof Aerobik Saluran Pencernaan Ikan Sidat (Anguilla bicolor bicolor) dan Potensinya Sebagai Probiotik. Jurnal Bioteknologi (13):1.
Sasono, A. D. 2001. Kebiasaan Makan Ikan Sidat (Anguilla bicolor) di Desa Citepus, Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Desa Cimaja, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tesch, F. W. 2003. The Eel 3rd ed. Blackwell Science ltd: Oxford, UK. Pp : 73-90.
Wahyudhi, D., Fadly, Y. dan T. J. Nilawati. 2016. Diversitas, Distribusi dan Kelimpahan Glass Eel di Muara Sungai Palu. J. Sains dan Teknologi Tadukulo (5):1. Hal 1-6.
Rovara, O., I.E. Setiawan, dan M.H. Amarullah. 2007. Mengenal sumberdaya ikan sidat. BPPT-HSF. Jakarta.